Sadomasokisme adalah memperoleh kenikmatan biasanya seksual dari tindakan yang melibatkan memberikan atau menerima rasa sakit atau rasa malu. Nama ini berasal dari dua pengarang subjek ini, Marquis de Sade dan Leopold von Sacher-Masoch. Praktisi sadomasokisme biasanya mencari gratifikasi seksual dari tindakan ini, namun sering mencari bentuk kenikmatan lainnya pula. Walaupun istilah sadis dan masokis khusus merujuk pada orang yang menikmati memberikan rasa sakit (sadis) atau orang yang menikmati rasa sakit (masokis), banyak praktisi sadomasokisme menyatakan mereka sering bergantian posisi atau merasakan kenikmatan dari keduanya sekaligus. Berikut hanya akan dibahas mengenai sisi psikologis dari sadomasokisme.
Marquis de Sade |
Leopold von Sacher-Masoch. |
Ada sejumlah alasan yang umum diberikan mengapa seorang sadomasokis merasakan tindakan S&M (Sadis dan Masokis) menyenangkan, dan jawabannya sangat tergantung individu. Bagi sebagian, mengambil peran yang tidak berdaya menawarkan pelarian terapetik; dari stress kehidupan, dari tanggung jawab atau rasa bersalah. Bagi yang lain, berada dalam kekuatan dan pengendalian dapat memicu perasaan aman dan perlindungan terkait dengan masa kecil. Mereka menurunkan kepuasan dari memperoleh pengakuan figur tersebut.
Psikologi klasik
Freud memperkenalkan istilah masokisme primer dan sekunder. Walaupun gagasan ini memiliki sejumlah penafsiran, dalam masokisme primer, masokis melakukan penolakan sepenuhnya atau sebagian kepada model atau objek kawin (atau sadis), mungkin melibatkan model menganggap musuhnya sebagai pasangan yang terpilih. Penolakan sepenuhnya ini terkait dengan pengendali kematian dalam psikoanalisa Freud (Todestrieb). Dalam masokisme sekunder, sebaliknya, masokis mengalami penolakan yang ringan dan hukuman oleh model. Masokisme sekunder, dengan kata lain, adalah versi yang relatif kasual dan lebih lembut.
Sartre menyajikan teori sadisme dan masokismenya. Karena kenikmatan atau kekuatan dalam mencari figur korban banyak ditemukan dalam sadisme dan masokisme, Sartre mampu menghubungkan fenomena ini dengan filosofi terkenalnya “Look of the Other (Melihat orang lain)”. Sartre berpendapat kalau masokisme adalah usaha oleh ‘For-itself’ (kesadaran) untuk mereduksi dirinya ke ketiadaan, menjadi objek yang tenggelam dalam “relung subjektivitas orang lain.” Dengan ini Sartre bermaksud mengatakan kalau adanya keinginan ‘For-itself’ untuk mempertahankan sudut pandang dimana ia subjek sekaligus objek, strategi yang mungkin adalah mengumpulkan dan memperkuat tiap perasaan dan postur dimana diri tampak sebagai objek untuk ditolak, diuji dan dipermalukan; dan dengan cara ini For-itself berjuang menuju sudut pandang dimana hanya ada satu subjektivitas dalam hubungan, yang merupakan milik yang dilecehkan dan peleceh sekaligus. Sartre berpendapat kalau sadisme adalah usaha menghapus subjektivitas korbannya. Itu berarti kalau sadis terdorong oleh gangguan emosional korban karena mereka mencari subjektivitas yang memandang korban sebagai subjek sekaligus objek.
Psikologi modern
Seorang sadis, di sisi lain, dapat merasakan kekuatan dan otoritas yang datang dari bermain dominan atau mendapatkan kenikmatan lewat penderitaan masokis. Masih belum dipahami apa yang menghubungkan pengalaman emosional ini dengan gratifikasi seksual atau bagaimana hubungan tersebut awalnya terbentuk. Bila kita mempertimbangkan kalau Ego juga merupakan pusat struktur repetitif mandiri yang kelaparan di kepenuhan dan keterhubungan yang ia nikmati di awal kehidupan, kita juga dapat memahami penghancuran batasan tersebut (dalam proses mempermalukan) dapat membawa re-imersi sementara kedalam matriks kehidupan bagi masokis. Sadis akan mengambil kenikmatan yang lebih sedikit dari ilusi menjadi Tuhan.
Dr. Joseph Merlino, penulis dan penasehat psikiatrik New York Daily News, mengatakan dalam sebuah wawancara kalau hubungan sadomasokistik, sejauh bersifat konsensual, bukanlah masalah psikologis:
“Masalahnya hanya bila membuat individu merasa kesulitan, bila ia tidak senang dengannya atau itu menyebabkan masalah dalam hidup pribadi atau profesionalnya. Bila tidak, saya tidak melihat adanya masalah. Namun anggap saja memang ada, apa yang saya heran adalah apa biologi dibalik hal ini yang menyebabkan kecenderungan kedalam masalahnya dan secara dinamis, apa pengalaman yang membawa individu ini menuju ujung spektrum masokisme ini.”
Biasanya disetujui oleh para psikolog kalau pengalaman di masa perkembangan seksual dapat memiliki pengaruh besar pada karakter seksualitas di kemudian hari. Walau demikian, keinginan sadomasokistik terlihat terbentuk dalam berbagai usia. Beberapa individu melaporkan mulai menginginkannya sebelum pubertas, sementara yang lain tidak hingga dewasa. Menurut sebuah studi, mayoritas sadomasokis laki-laki (53%) mengembangkan minatnya sebelum usia 15, sementara mayoritas perempuan (78%) mengembangkan minatnya lebih tua lagi.
Prevalensi sadomasokisme secara umum dalam populasi umum tidak diketahui. Walaupun sadis perempuan lebih sulit dikenali dari laki-laki, beberapa survey menunjukkan sejumlah fantasi sadis pada laki-laki dan perempuan. Hasil studi tersebut menunjukkan kalau jenis kelamin tidak menentukan pilihan sadisme.
sumber:http://www.faktailmiah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar